Mulyono, Presiden Republik Keluarga

Randy Ira
3 min readAug 24, 2024

--

Apa yang tersisa dari demokrasi ketika aturan mainnya bisa diubah sesuka hati? Jika Anda mencari jawabannya, lihat saja ke Indonesia, di mana Presiden Mulyono — yang lebih dikenal sebagai Jokowi — telah memberikan pelajaran yang tak akan dilupakan: bahwa hukum, dalam tangan yang berkuasa, tak lebih dari plastisin yang bisa dibentuk sesuai kepentingan keluarga.

Kita semua tahu bahwa Pilkada serentak dijadwalkan pada 27 November 2024. Syaratnya sederhana, calon harus berusia minimal 30 tahun. Tapi, sang anak emas baru akan menginjak usia tersebut pada Desember 2024. Jadi, apa yang dilakukan Mulyono? Menerima kenyataan? Tentu saja tidak. Sebaliknya, beliau mulai memainkan jurus liciknya — membentangkan rencana yang begitu telanjang, begitu kasar, hingga bahkan anak SD pun bisa melihat ada yang tidak beres.

Mari kita pikir sejenak: Apa yang membuat seorang pemimpin rela mengorbankan kredibilitasnya di hadapan seluruh negeri? Jawabannya adalah kekuasaan yang sudah berubah menjadi ambisi buta. Dalam kepanikan dan ketakutan, Mulyono memutuskan untuk melakukan apa yang hanya bisa disebut sebagai “mempermainkan waktu.” Bukannya menghormati aturan yang ada, ia malah mencoba menggeser peta politik, mungkin berharap kita semua buta kalender atau lebih buruk lagi, buta logika.

Ironis, bukan? Seorang pemimpin yang seharusnya menjaga integritas demokrasi malah menjadi aktor utama dalam sandiwara nepotisme ini. Mulyono, dalam langkah-langkah yang penuh kelicikan, membuat kita bertanya: Apakah ini demokrasi, atau hanya dinasti yang dibungkus dengan janji-janji kosong?

Dan mari kita tidak menutup mata terhadap upaya-upaya terang-terangan untuk mengubah aturan, menunda pendaftaran, atau memanipulasi konstitusi. Semua dilakukan dengan alasan yang sama, yakni memenuhi ambisi keluarga. Apakah ini yang kita sebut “kepemimpinan”? Atau hanya usaha putus asa seorang ayah yang ingin memastikan anaknya mendapatkan kursi panas di pemerintahan?

Photo by Conner Baker on Unsplash

Seperti kata Machiavelli, “tujuan menghalalkan cara.” Namun, bahkan Machiavelli pun mungkin akan terkejut melihat betapa terang-terangan taktik ini dimainkan. Bukankah seharusnya kita mempertanyakan moralitas di balik semua ini? Atau, apakah moralitas itu sendiri sudah tak lagi relevan dalam Republik Keluarga ini?

Nepotisme telanjang ini bukan sekadar kebijakan yang buruk; ini adalah bentuk penghinaan terhadap rakyat yang seharusnya dilayani. Kita mungkin tertawa pahit melihat bagaimana undang-undang bisa dibengkokkan, tapi di balik tawa itu, ada kesadaran yang menyakitkan: bahwa kita sedang dipimpin oleh seseorang yang lebih mementingkan nama keluarganya daripada masa depan bangsa.

Apakah kita benar-benar mati rasa? Apakah kita akan diam saja melihat demokrasi kita digadaikan untuk satu nama keluarga? Atau, apakah kita akan berdiri dan mempertanyakan, apa yang tersisa dari republik ini ketika konstitusi bisa dijadikan mainan oleh mereka yang berkuasa?

Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menggugah kita. Karena jika kita hanya menjadi penonton pasif dalam sandiwara ini, maka kita tidak lagi hidup dalam demokrasi, tapi dalam sebuah dinasti yang sudah kehilangan rasa malu. Selamat datang di Republik Keluarga, di mana hukum tunduk pada ambisi pribadi, dan kita semua hanya pion dalam permainan mereka. Kata-kata seperti “Bajingan tolol” pun rasanya belum cukup untuk menggambarkan bagaimana liciknya Mulyono ini.

--

--

Randy Ira

Melankolis yang terlahir di pagi hari, dan mempunyai senyuman seindah pagi. Panggil saya Randi, Ira hanya ada dalam kepingan puisi.