Ketakutan Pemerintah yang Anti-Pikiran pada Kebebasan Sosial Media

Randy Ira
3 min readJun 15, 2024

--

Hari ini, hidup dijalani dalam era di mana media sosial seharusnya menjadi sumber berkembangnya pengetahuan. Namun kenyataannya, media sosial justru menjadi tempat berkembangnya kebencian, provokasi, dan segala bentuk ketidakadilan. Fenomena ini membawa masyarakat pada pertanyaan mendasar tentang keberlangsungan demokrasi. Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan akademis, melainkan menyentuh langsung kehidupan politik dan kehidupan bernegara.

Absennya pikiran kritis berkontribusi pada fenomena pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan akademis. Saat ini, masyarakat cenderung abai pada substansi dan berfokus pada sensasi. Saat ini, momen berpikir kritis adalah sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya mempertanyakan apa yang terjadi.

Pemerintah yang anti-pikiran takut pada sosial media, karena sosial media adalah ruang yang sulit dikendalikan. Dalam ruang ini, wacana berkembang dengan cepat, dan kritik bisa muncul dari mana saja. Bagi pemerintah yang anti-pikiran, sosial media adalah ancaman karena ia membuka ruang bagi kritik yang tak terbatas. Ketakutan ini memperlihatkan betapa rapuhnya legitimasi kekuasaan yang tidak bersandar pada logika dan pikiran kritis.

Gedung DPR. https://unsplash.com/

Bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis. Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika, namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat terjadi karena gangguan kognisi pada mental seseorang. Diungkapkan bahwa gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan. Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan bias kognisi telah mendominasi.

Logika dan kontrol terhadap bias kognisi adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi di mana seseorang malas untuk mengambil risiko dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya, penalaran tidak lagi diandalkan tetapi dipilih untuk melandaskan argumen pada fundamen-fundamen tertentu seperti metafisik, teologis dan kultural. Setidaknya ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai dalam memastikan aktivitas berpikir kritis yaitu: bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme terhadap nilai.

Kritik adalah hal yang esensial dalam menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis. “Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis berbagai macam problem, menganalisis artinya melakukan kritik.” Kritik adalah hal yang penting dalam upaya melakukan analisis, namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai kesia-siaan. Padahal solusi bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya fungsi primer sebagai manusia sedang dijalankan.

Berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini resistensi terhadap kritik sedang dialami banyak orang. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan. Demokrasi dimaknai sebagai pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat. Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap mandat demokrasi itu sendiri.

Kritik melekat dalam demokrasi. Demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik artinya menolak demokrasi.

Saat ini, kondisi dihadapi di mana ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas sebuah persoalan terjadi. Sebuah kondisi di mana masyarakat cenderung cepat beraksi daripada terlebih dahulu melakukan refleksi. Kritik haruslah tiba pada lapisan terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan, karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar dari wilayah doktrinasi.

Pemerintah yang anti-pikiran takut pada sosial media karena sosial media memberikan ruang bagi pikiran kritis untuk berkembang dan mengancam legitimasi yang rapuh. Maka dari itu, penting untuk selalu mempertahankan ruang bagi kritik dan berpikir kritis dalam setiap aspek kehidupan. Hanya dengan demikian, demokrasi bisa benar-benar dihidupi dan dipertahankan.

--

--

Randy Ira

Melankolis yang terlahir di pagi hari, dan mempunyai senyuman seindah pagi. Panggil saya Randi, Ira hanya ada dalam kepingan puisi.