“Cloud Computing”. Mengapa Akademisi dan Birokrasi Masih Buta Huruf Teknologi?

Randy Ira
2 min readJun 17, 2024

--

Suatu pagi dalam sebuah meeting online. Saya memulai penjelasan paper saya: “Kalian mengerti konsep cloud computing?” Satu ruangan virtual ‘bengong’. Padahal ini penjelasan akademik tentang “Transformasi Digital”. Saya paham, bahwa cloud computing masih merupakan bahasa asing di banyak kampus kita. Jadi, bila kalangan akademisi saja masih buta huruf tentang teknologi masa depan ini, apalagi birokrasi, parlemen, dan sistem pendidikan kita.

Cloud computing adalah sinopsis dari revolusi teknologi. Hanya melalui teknologi inilah seluruh efisiensi dan inovasi teknologi dibangun. Seorang pengguna cloud tidak lahir langsung menguasai teknologi ini. Ia lahir dalam ketidaktahuan: bahwa ia harus bergantung pada perangkat keras lokal. Bahwa ia harus berurusan dengan batasan penyimpanan fisik. Bahwa ia tidak bisa mengakses data dari mana saja. Bahwa ia tidak memanfaatkan potensi penuh teknologi. Bahwa ia bukan dirinya yang paling produktif..!

Photo by Possessed Photography on Unsplash

Imperatif ini bekerja dalam psikologi teknologi kekuasaan: bahwa infrastruktur IT tradisional adalah objek yang ketinggalan zaman. Bahwa paradigma lama tentang kepemilikan data fisik harus ditinggalkan. Bahwa keamanan data bukanlah tanggung jawab penyedia cloud. Bahwa efisiensi dan skalabilitas bukanlah urusan bisnis kecil.

Kita sedang memajukan transformasi digital. Membangun infrastruktur-infrastrukturnya. Tetapi budaya teknologi justru tumbuh dalam suasana konservatif, feodalistik dan tertutup. Cloud computing adalah pikiran tentang efisiensi dan inovasi, justru karena teknologi ini telah menempuh perjalanan panjang dalam evolusi digital.

Teknologi telah berbuat curang kepada banyak perusahaan, hanya karena mereka tidak memanfaatkan cloud. Doa pagi seorang manajer IT di sebuah perusahaan tradisional bunyinya sungguh mencengangkan: “Tuhan, terima kasih karena aku tak dilahirkan sebagai pengguna teknologi ketinggalan zaman, dan tak dilahirkan sebagai penolak inovasi”. Tetapi tentu kita tahu siapa yang mengembangkan teknologi ini.

Dalam sebuah pembahasan teknologi, sebagai orang yang menulis paper, saya menguraikan dalil “cloud computing theory”. Seorang rekan dosen protes. Ia jijik dengan istilah itu karena menganggapnya hanya hype. Dosen tak berusaha meluruskan. Agaknya ia juga tak paham. Saya katakan, saya tidak mengganti perangkat keras saya. Saya hanya mengganti cara berpikir. Ruang diskusi teknologi seharusnya berisi argumen teknis, bukan ketakutan irasional.

Sesungguhnya, pada cloud computing, melekat seluruh jenis inovasi: ekonomi, teknologi, keamanan, efisiensi, mobilitas. Dari sinisme akademisi hingga ketakutan bisnis konservatif, resistensi itu membuat kita buta huruf tentang masa depan. Pengguna cloud tidak lahir langsung merdeka. Ia lahir untuk memerdekakan dirinya dengan teknologi. Dengan itu, ia memerdekakan masa depan digital.

Cloud Computing Journal adalah panggilan untuk memerangkap para user untuk memahami serta menerima bahwa teknologi adalah segalanya.

--

--

Randy Ira

Melankolis yang terlahir di pagi hari, dan mempunyai senyuman seindah pagi. Panggil saya Randi, Ira hanya ada dalam kepingan puisi.